Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tradisi Sati


Kata “Satya” yang ditemukan dalam bahasa Jawa kuno, merupakan kata yang di adopsi daribahasa Sanskerta India, dari bentuk kata sifat “Sati”, yang berarti tulus, jujur, loyal (untuk satu suami, raja; bersumpah kepada seseorang), berbudi luhur, baik. Untuk mengenal lebih jauh akanarti dari kata Satya (setia), mari kita mengenal terlebih dahulu arti dari kata Sati.


Istilah Sati (Su-thi atau Sut te e) di India di duga keras berasal dari kisah Dewi Sati, yang juga dikenal dengan nama Dakshayani. Dewi Sati atau Dakshayani di kenal akan tindakan pengorbanan dirinya dengan terjun ke dalam api pembakaran, karena ia tak mampu menahan penghinaan Dakhsa (ayahnya), terhadap Shiva (suaminya). Setelah pembakaran diri dan mati, Dakshayani bereinkarnasi, lahir untuk kedua kalinya sebagai puteri dari raja gunung, Himawan, dengan nama Parvati, yang akhirnya kembali menjadi istri dari Shiva untuk kedua kalinya.
Kisah kesetiaan sempurna Dewi Sati kepada Siva, suaminya, sering dikutip untuk membenarkan asal-usul dari praktek Sati di India, praktek yang menggambarkan bentuk kesetiaan terakhirseorang istri dengan mengorbankan diri hidup-hidup di dalam api kremasi mayat suami. Dalam Sanskerta, Sati dibedakan dalam dua jenis: Sahamarana, sahagamanaat au anvarohana.


Kematian seorang wanita yang naik ke tumpukan kayu bakar kremasi mayat suami dan mati bersama. Anumarana. Mayat suami di kremasi terlebih dahulu dan sang istri kemudian di kremasi terpisah ditempat lain, kadang-kadang dengan abu suami atau kenang-kenangan lain dari suami. Sedangkan pada masa peperangan, para istri dari pangeran dan raja yang kalah melakukanbunuh diri (Jauhar) untuk menghindari diri jatuh ke tangan musuh yang menang.Jau har banyakdipraktekkan di antara para bangsawan Rajput. Swaami (suami) dan Satya (setia).
Di India, bentuk kesetiaan seorang wanita terhadap pasangannya, sudah terpatri Dalam dan berlangsung sejak beratus abad. Pada periode epikdi India (sekitar 500 SM - 500 M) buku-buku hukum yang disebut Dharmashastra, atau risalah tentang perilaku yang benar (dharma), di kompilasi olehgolongan lelaki Brahman menjadi standar agamayang digunakan untuk mengukur perilaku seseorang.

Di dalam Dharmashastra, tertulis akan ideologi Stridharma, ideologi tentang cara hidup yang benarbagi seorang istri, yang menuntut pengabdian wanita pada satu suami. Ideologi Stridharma menyatakan bahwa suami bagi seorang wanita adalah semacam “tuhan”, dan dalam bahasa Sanskerta, kata untuk pasangan istri adalah -“Swaami”- (suami) yang secara harfiah diartikan “tuhan dan guru”.

Sehingga, kebahagiaan hidup seorang istri yang ideal adalah memuaskan suaminya secara penuh, sedangkan kekhawatiran seorang istri yang sejati adalah ketidakmampuan melakukan pengabdian secara utuh dan menyeluruh. Pengabdian dalam bentuk kesetiaan yang tidakdapat dipisahkan sekalipun dengan kematian.Keseluruhan sikap dan kesempurnaan ekspresikesetiaan tertinggi seorang istri dalam suatu perkawinan di India diungkapkan dalam bentukSati.

Apakah Sati tepatnya merupakan praktek pengorbanan diri yang asli berasal dari India atau diadopsi dari budaya lain, tidak diketahui dengan pasti. Catatan tertua yang didapati tentangpengorbanan diri wanita di India ditulis sekitar tahun 326 SM oleh Aristobulus dari Cassandreia,seorang sejarawan Yunani yang turut dalam ekspedisi Alexander Agung di Lembah Indus, India.Beliau menemukan adanya praktek pengorbanan wanita di kota Taxila (kini masuk di dalam wilayah Pakistan).

Sejarah India serta teks-teks sastra yang memuat praktek Sati, banyak menarik perhatian bangsaasing ke India. Di dalam pemerintahan kolonial Inggris, pada akhir tahun kedelapan belas danawal abad kesembilan belas, tulisan-tulisan tentang Sati segera berkembang dari kisah-kisah yangeksotis hingga tulisan-tulisan yang langsung mengutuk keberadaan praktek Sati.

Praktek Sati akhirnya dilarang oleh Pemerintah Inggris pada tahun 1829 oleh Lord Bentinck,Gubernur-Jenderal India (1828-1835) dan diperkuat kembali di abad 20 pada Sati (Prevention)Act 1987. Namun, terlepas dari larangan hukum pada kenyataannya, hal ini terus terjadi hinggaabad ke 21, sebagaimana dibuktikan dengan berita terakhir pada tanggal 13 Oktober 2008, didesa Chechar (India tengah). Seorang janda bernama Lalmati Verma berusia 71 tahun,mengorbankan dirinya kedalam tumpukan api kremasi Shivnandan Verma, suaminya.

Itulah sati merupakan simbol kestiaan tertinggi seorang istri kepada suaminya. Masih maukah istri-istri sekarang mengorbankan segalanya untuk suaminya???. Apakah praktek sati harus diterapkan lagi, jika melihat kenyataan-kenyataan sekarang, dimana banyak seseorang yang berstatus istri, malah selingkuh dan menyeleweng pada suaminya???, meskipun di sisi lain praktek sati tidak manusiawi, namun maknanya harus diresapi. Itulah sati simbol kesetiaan Istri kepada suaminya.

SEJARAH SATI

Sati, menurut seorang teolog Hindu terkemuka, memiliki akarnya di masyarakat Yunani kuno. Korban api mirip sati ada dalam masyarakat Jerman, Slavia dan ras lain di samping Yunani. Sangat mungkin praktek Sati datang ke India dalam tahun 1 AD. Melalui Kushana, sebuah ras Asia Tengah yang memerintah bagian barat laut India. Sati tidak pernah dipraktekkan di manapun di India Selatan. Bahkan di India Utara, ia dipraktekan kebanyakan di antara suku perang yang disebut Rajput yang merupakan keturunan dari Kushana, Saka dan Parthiana.

Suku bangsa Rajput adalah suku pahlawan perang Hindu yang sangat fanatik, yang senantiasa dalam peperangan melawan kaum muslim dan juga diantara mereka sendiri. Tampaknya bangsa Rajput ini memiliki banyak janda-janda muda yang mungkin akan menimbulkan masalah etik dan moral dalam masyarakat monogami. Dari pada mengijinkan seorang laki-laki, seperti orang Islam, memiliki lebih dari satu istri, kaum Rajput memakai cara mudah untuk menyelesaikan soal janda yang tidak diharapkan dengan Sati. Itulah satu-satunya alasan logis yang dapat kita ambil mengenai praktek Sati yang sangat menghebohkan ini.

Tradisi ini sudah menghasilkan kasus-kasus yang banyak lho. Beberapa kasusnya:

1. Kasus Baniyani
Di Desa Baniyani, seorang perempuan bernama Kariya Bai secara sadar telah melakukan bunuh diri dengan cara menerjunkan diri ke perapian sang suami. Bai berusia 95 tahun yang ditinggal suami karena suatu penyakit menahun.


Jauh sebelum melakukan hajatnya, menurut tetangga, konon Bai menurut selalu berpesan bahwa keinginan terakhirnya adalah mati bersama sang suami. Hal ini diungkapkan selama bertahun-tahun ketika suaminya mulai sakit-sakitan. Baginya, hidup tanpa suami tiada artinya sama sekali. Sementara itu, dalam wasiatnya, suami Bai ingin dikremasi di tanah ladang miliknya jika dia meninggal. Ketika dia meninggal, anak-anak lelakinya membuat api kremasi di tanah ladang dan mulai membakar jasad sang ayah. Selanjutnya, Bai, wanita tak berpendidikan ini, benar-benar memutuskan untuk melakukan bakar diri dengan melompat ke perapian. Dengan sangat tenang, ia meletakkan kepala sang suami dipangkuannya sebelum akhirnya api menjilat tubuhnya dan mengantarkannya ke kematian pula.

"The minute she said she wanted to be a sati, everyone came from here and nearby villages," kata Ram, salah seorang sesepuh desa. "There must have been at least 200 people, maybe 300 . Chanting filled the village’s narrow dirt roads "Sati mata ki jai!" — "Glory to mother sati! " lanjut Ram.

Aksi sang nenek Bai, bagi masyarakat setempat, merupakan aksi suci. Sejak hari itu didirikan candi sebagai bentuk penghormatan dan Nenek Bai menjadi sesembahan masyarakat sekitar.

Tradisi bakar diri sudah eksis pada abad ke lima. Kemudian, tradisi ini masuk ke golongan Rajputs yaitu golongan kasta kstaria tinggi yang mempunyai hubungan dekat dengan para keluarga bangsawan dan keluarga terhormat lainnya, khususnya di India Utara. Bai adalah keturunan Rajput. Tradisi ini, selain sebagai bentuk pengabdian kepada suami, konon juga untuk mencegah sang janda diperkosa. Bisa jadi. Sati merupakan bentuk pelaksanaan prinsip yang erat dipraktekkan di wilayah-wilayah tertentu. Prinsip yang dianut bahwa seorang lelaki ketika meninggal akan membawa apapun yang dimilikinya ke alam baka termasuk istrinya, tentu saja.
"It’s absolute rubbish, these people who say it is voluntary," ujar Kumari, salah seorang aktifis HAM. "It’s always a question of family, of socialization and economic circumstances," lanjutnya.

2. Kisah Roop Kanwar
Dalam salah satu buku bertajuk "Sati Mata The burning Widow", dikisahkan tentang tradisi Sati. Roop Kanwar, wanita berusia 18 tahun, pada tahun 1987 telah melakukan bunuh diri dengan aksi bakar diri di api kremasi sang suami. Kasus Roop yang kemudian mencuat di seluruh India dan menarik media di seluruh dunia untuk mengungkap misteri tradisi bakar diri di India yang konon sudah musnah. Kontroversi kematian Roop mencuat di mana-mana. Banyak pertanyaan muncul dari berbagai pihak. Benarkah Roop melakukan bunuh diri? Ataukah dia dipaksa untuk bunuh diri? Dalam kasus Roop, yang menjadi kontroversi adalah adanya unsur pemaksaan oleh keluarga sang suami dan masyarakat sekitar terhadap kerelaan Roop.

Mansingh, suami Roop meninggal di rumah sakit di Propinsi Kikar karena sakit. Jasadnya kemudian di bawa ke daerah asalnya di dusun Diwrala untuk dikremasi. Saat itu, Roop yang menyalakan api kremasi dikelilingi oleh saudara dan keluarga. Puluhan masyarakat sekitar ikut menyaksikan upacara ini. Mereka tidak henti-hentinya melagukan lagu-lagu pemujaan terhadap Dewi Sati. Banyak versi muncul menyangkut asal mula terjadinya aksi bakar diri Roop. Ada yang menyebutkan Roop suka rela. Tetapi banyak pula yang mengatakan Roop dipaksa melakukan aksi bakar diri. Roop dicekoki obat-obatan sebelum dipaksa ke kremasi sang suami.
Polisi yang menangani kasus ini mendapat laporan dari keluarga sang almarhum suami Roop, ia telah dengan suka rela melakukan Sati. Roop dan Mansingh adalah pasangan muda yang belum lama melakukan pernikahan. Dari perkawinan tersebut Mansingh menerima mas kawin lebih dari 100,000 Rupee, dalam bentuk TV, perhiasan emas, radio dan kulkas. Mansingh sebenarnya menuntut mas kawin sebanyak 200,000 Rupee. Setelah negosiasi disepakati mas kawin menjadi 100,000 Rupee.

Sampai sejauh ini, diiperkirakan ada lebih 23 kasus pembunuhan berkenaan denan mas kawin. Pembunuhan dilakukan sebagai kompensasi tidak dilunasinya mas kawin. Menurut salah seorang guru, setelah menjadi janda hampir tidak mungkin untuk menikah lagi. Praktis seorang janda yang ditinggal suami, hampir dipastikan tidak mempunyai masa depan lagi. Inikah yang menjadi alasan pembenaran atas pembunuhan para janda?

"The society treats a widow as a "kulachani" (an evil omen), and an economic liability. She has to remain barefoot, sleep on the floor and is not allowed to venture out of the house. She is slandered if seen talking to a male. It was better that she died than live such a life," lanjut guru tersebut.
Semenjak kematian Roop yang menghebohkan banyak para peziarah yang mendatangi tempat Roop Kanwar melakukan Sati di desa Deorala (Dwirlala). Roop telah menjadi seorang Dewi yang pantas dipuja dengan melakukan Sati. Sebelumnya, Roop seorang janda yang tidak ada harganya, kini telah menjelma sebagai seorang Dewi yang pantas diangungkan. Menurut sumber terdekat, selama hidup, Roop Kanwar adalah salah seorang pemuja Dewi Sati. Para pemuja percaya Sati Mata akan memberikan kekuatan kepada setiap manusia khususnya kaum wanita selain apa yang didapat dari suaminya. Saksi mata mengatakan ratusan penduduk desa hadir dan menyaksikan saat Roop dengan tenang memangku kepala sang suami pada saat melakukan Sati demi menjadi Sati.
Menurut Reuter (25-9-87), Roop Kanwar sejatinya dipaksa untuk melakukan bakar diri. Dia bunuh diri bukan atas kemauan sendiri seperti yang dilaporkan, tetapi dipaksa oleh keluarga suaminya. Konon Roop mati-matian mencoba mempertahankan jiwanya. Menurut beberapa saksi mata, Roop menangis mengiba-iba minta tolong ketika tubuhnya didorong ke dalam perapian. Roop bahkan mencoba melarikan diri, sebelum perapian dinyalakan, namun dia tak berdaya apapun karena, lehernya ditumpuki kayu. Terakan-teriakan memilukan dari mulutnya yang membisikkan mantra Gayatri, tenggelam oleh teriakan masyarakat yang asyik melantunkan pemujaan "Sati Mata Kijai" (long live the Lady of Sati) seperti ilustrasi di awal tulisan.

Dari berbagai sumber disebutkan, belum pernah ditemukan dan dilaporkan adanya kasus suami yang bakar diri demi istri. Yang terjadi justru sebaliknya, ketika suami ditinggal mati oleh sang istri, mereka akan cepat-cepat mencari istri baru. Dan juga mendapat mas kawin baru. Rasanya sangat tidak adil!

Sad but true, bentuk lain tradisi Sati juga terjadi di luar India. Namun di manapun, wanita sangat dituntut untuk berbakti secara mutlak kepada suami. Ini tidak diimbangi dengan pengabdian yang mutlak pula dari para suami.


Sumber:
http://polseklabuhanmaringgai.blogspot.com/2011/02/tradisi-sati-terbakar-hidup-hidup.html
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/2/1946/memilukan_tradisi_janda_bakar_diri_part_ii

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Feed her!